I2011/1 Allah: II (Indon)


Penggunaan “Allah”: Apa Selanjutnya?

Versi Cetakan PDF

Penggunaan kata “Allah” untuk “Sesembahan” dalam Alkitab telah menjadi suatu masalah yang sudah lama di Malaysia. Banyak pihak telah berusaha untuk menanganinya tetapi masalah ini  semakin berkelanjutan tanpa solusi yang jelas. Saya telah membahas masalah ini dalam Konferensi Pendeta-Pendeta Reform 2009 di Kuala Lumpur, yang akhirnya diterbitkan bentuk buku dan disebarkan kepada pemimpin-pemimpin gereja di Malaysia dan Indonesia.1 Artikel ini merupakan kelanjutannya. Fokus kali ini lebih terperinci, dari segi objektif dan juga ruang lingkup. Objektifnya untuk menunjukkan bahwa terdapat alasan kuat linguistik dan teologis mengapa orang-orang Kristen sepatutnya melepaskan penggunaan “Allah” sebagai terjemahan untuk “Sesembahan”. Ruang lingkup terbatas pada situasi di Malaysia, sekalipun sekilas membincang situasi di tempat-tempat yang lain.

Rumusan masalah

Kita perlu membuat rumusan masalah ini. Alkitab mulai diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu sejak  tahun 1600-an, ketika misionaris Kristen tiba di Nusantara Melayu. Malaysia merdeka dari pihak British pada tahun 1957, diproklamirkan oleh Perlembagaan Persekutuan yang menyatakan bahwa bahasa Melayu adalah bahasa kebangsaan, Islam adalah agama resmi, sultan-sultan adalah kepala agama Islam di negeri masing-masing, hukum-hukum boleh dikeluarkan untuk menghambat penyebaran kepercayaan lain kepada orang Muslim, orang Melayu adalah orang Muslim yang mempunyai kedudukan istimewa dalam negara, dan agama-agama lain boleh dianut secara bebas. Ketika negeri Sabah dan Sarawak yang terletak di kepulauan Borneo bergabung dengan Malaysia pada tahun 1963, Alkitab bahasa Melayu telah digunakan oleh warga Kristen yang cukup banyak di sana sejak generasi ke generasi.

Dalam tahun 1980-an, beberapa negeri dalam negara ini telah mengeluarkan hukum-hukum yang melarang penggunaan beberapa kata, termasuk “Allah”, dalam konteks non Muslim. Pemerintah pusat juga mengeluarkan hukum yang sama untuk melarang penerbitan, penjualan, penyebaran, atau pemilikan Alkitab yang menggunakan kata “Allah”. Tentu saja timbul akibat terhadap orang Kristen berbahasa Melayu dalam negara ini yang menggunakan Alkitab dan buku yang diimpor dari Indonesia. Terjadi protes dari orang-orang Kristen, impor Alkitab diizinkan kepada beberapa organisasi untuk kegunaan gereja. Kadang-kadang terjadi masalah karena impor naskah-naskah Alkitab dihalangi oleh pihak imigrasi, termasuk beberapa buku Kristen dilarangkan karena mengandung kata “Allah”.

Akhir-akhir ini, mingguan Katolik Roma, The Herald, dilarangkan mengguna kata “Allah” dalam terjemahan Melayunya. Ada kekuatiran penggunaan kata itu berkemungkinan menyebabkan salah paham di kalangan orang Muslim negara ini. Hal itu merupakan istilah halus yang digunakan untuk  menunjukkan kekuatiran pindah agama. Gereja Katolik Roma membawa perkara itu ke pengadilan, dengan pengakuan bahawa kata “Allah” bukan eksklusif untuk agama Islam. Mingguan The Herald, yang dicetak dalam empat bahasa, telah bertahun-tahun menggunakan kata “Allah”.  Pada 31 Desember 2009, pengadilan tinggi telah memutuskan bahwa The Herald berhak menggunakan “Allah”.2 Keputusan itu membangkitkan kemarahan orang Muslim di negara ini sehingga terjadi demonstrasi dan peringatan keras berbagai organisasi dan politikus Muslim terhadap orang Kristen. Ada juga politikus lain, termasuk yang Muslim, yang menyatakan pendapat lain, dengan yakin bahwa agama-agama lain boleh menggunakan “Allah” untuk mengacu kepada Sesembahan.

Susulan dari surat keputusan pengadilan yang berpihak kepada The Herald, sebelas gereja dan sebuah sekolah Kristen diserang dengan bom api dan cat. Akibat ketegangan meningkat, dua buah mesjid dan dua buah surau dibakar atau dirusak. Sebuah mesjid, di suatu kawasan di mana terjadinya perselisihan di antara orang Muslim dan orang Hindu pada tahun 2001, dinajiskan dengan dua kepala babi yang dilempar kedalamnya. Beberapa orang ditangkap dan dihadapkan ke pengadilan. Pemerintah telah memohon supaya keputusan pengadilan yang memihak The Herald ditangguhkan, sambil mengajukan banding terhadap keputusan itu.3 Sampai sekarang, masalah ini belum selesai.

Bersamaan dengan kasus terkait dengan The Herald berlangsung, Sidang Injil Borneo (SIB) mempunyai kasus yang belum diputuskan di pengadilan atas penahanan 20,000 naskah penerbitan Kristen oleh pihak imigrasi yang diimpor dari Indonesia.4 Seorang bekas Perdana Menteri, Dr. Mahathir, mengeluarkan kenyataan dalam blognya bahwa perkara sensitif seperti kontroversi penggunaan “Allah” tidak sepatutnya diselesaikan di pengadilan.5 Harian-harian Melayu pula menerbitkan pernyataan-pernyataan keras mengenai hal ini. Orang-orang Kristen menjadi gusar karena tuduhan bahwa mereka bersikap konfrontasi dan tidak suka menyelesaikan kasus-kasus mereka di luar pengadilan. Sultan negeri Selangor telah mengeluarkan pernyataan bahwa tidak pantas adanya perselisihan mengenai penggunaan kata “Allah” karena Hukum non Muslim 1988 melarang orang non Muslim menggunakan kata itu.6 Sidang Injil Borneo telah setuju untuk menyelesaikan masalah ini dengan pemerintah di luar ruang pengadilan. Bentuk penyelesaiannya belum ditentukan. Adalah tipis kemungkinan larangan penggunaan kata “Allah” oleh agama non Islam itu di batalkan.  

Usulan pemecahan masalah

Sambil mencari jalan keluar, kita harus menguasai diri dan tidak terbawa emosi. Diperlukan keadilan, kesopanan dan belas kasihan untuk membuat kita mendengar dahulu pendapat kedua  belah pihak dan benar-benar mencoba memahaminya. Kita perlu membedakan masalah – apakah mengandungi muatan politik-dan-sejarah, atau teologis-dan-bahasa. Walau kita tidak mengenyampingkan faktor politik-dan-sejarah, tetapi kita lebih mempertimbangkan unsur teologi-dan-bahasa mengingat bahwa ini pada dasarnya masalah epistemologi.7 Seorang pemenang Kristen perlu menyadari bahwa kita ingin memuliakan Sesembahan, membina gereja, dan memajukan injil. Singkatnya, orang Kristen harus dibimbing oleh dimensi rohani dan prinsip-prinsip alkitabiah.

Kita sekarang mempertimbangkan alasan penggunaan kata “Allah” oleh orang Kristen.8 Alasan itu adalah:
i. Penggunaan “Allah” untuk “Sesembahan” di kalangan orang-orang Kristen di negara-negara Arab mendahului datangnya Islam.
ii. Alkitab telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu selama lebih dari 300 tahun di mana “Allah” digunakan.
iii. Kristen-kristen pribumi di negeri Sabah dan Sarawak telah menggunakan “Allah” sejak lama sebelum kedua negeri itu bergabung dengan Malaysia pada tahun 1963.
iv. Warga Malaysia non Muslim mempunyai hak legal untuk menggunakan kata “Allah” karena kebebasan beragama, bersuara dan bersekutu adalah terjamin, dan penggunaan bahasa manapun, termasuk bahasa Melayu, bukanlah hak istimewa suku tertentu.

Perlu kita perhatikan dengan seksama, alasan di atas lebih bermuatan sosio-politik dan sejarah. Apabila ditinjau dari sudut bahasa ternyata terdapat persamaan di antara “El”, “Eloah” dan “Elohim” bahasa Ibrani dengan “ilah” dan “Allah” bahasa Arab. Orang-orang Kristen Malaysia memilih untuk menggunakan kata “Allah” dan bukan “Elohim” karena, kononnya, kata “Allah” telah diterap oleh bahasa Melayu dan berarti “Sesembahan”.
 
Masalah-masalah bahasa

Dalam artikel saya tahun 2009, saya menjelaskan bahwa dalam bahasa Melayu, “Allah” bukan kata benda nama diri yang berasal dari suatu kata umum. Ia diadopsi dari bahasa Arab, sementara kata umum yang berkaitan, “ilah”, belum diadopsi. Oleh karena itu, kata “Allah” menjadi suatu nama diri untuk “Sesembahan”. Sebenarnya, dalam konteks Malaysia, itu menjadi nama diri sesembahan Islam. Kamus standar Melayu, yaitu Kamus Dewan, mendaftarkan “Allah” (dengan huruf besar “A”), dan “Ilah” (dengan huruf besar “I”) tetapi tidak “allah” (dengan huruf kecil “a”) atau “ilah” (dengan huruf kecil “i”). Apa yang saya ingin menyatakan ialah “allah” dan “ilah” (dengan huruf kecil “a” dan “i”) bukanlah kata-kata dalam bahasa Melayu. Mereka belum lagi diadopsi ke dalam bahasa Melayu. Maka adalah tidak benar dengan pernyataan bahwa, “Salah satu allah orang Hindu ialah Subramaniam”. Sebaliknya, kita akan sebut, “Salah satu tuhan orang Hindu ialah Subramaniam”. Kedua-dua perkataan ini, “Tuhan” (dengan huruf besar “T”) dan “tuhan” (dengan huruf kecil “t”), terdaftar dalam kamus Melayu.

Kita dapati kata “Allah” seperti yang digunakan dalam Alkitab adalah tidak tepat. Sebaliknya, lebih tepat memakai kata “Tuhan”. Kita tidak boleh membandingkan dengan Alkitab Arab karena “Allaah” (dengan huruf besar “A”) yang terpakai berasal dari kata nama umum, “ilaah” (dengan huruf kecil “i”). Kata “ilaah” (dengan huruf kecil “i”) adalah asli kepada bahasa Arab, tetapi tidak kepada bahasa Melayu. Alkitab Arab menggunakan “Allaah” sama dengan cara “God” (dengan huruf besar “G”) digunakan dalam bahasa Inggris, yang berasal dari kata nama umum, “god” (dengan huruf kecil “g”). Begitu juga dengan Alkitab dalam bahasa-bahasa Eropa lain seperti Perancis, Belanda, dan Jerman, yang masing-masing menggunakan “Dieu”, “God”, dan “Gott”.

Apabila para penterjemah Alkitab Melayu/Indonesia memilih kata “Allah” sebagai terjemahan “God”, sebaliknya kata “Tuhan” yang digunakan untuk menerjemah “Lord”. Mereka tidak perlu mencari suatu kata lain untuk menerjemah kata Yunani “Kurios” yang membawa arti ilahi, apabila dipakai pada Yesus Kristus. Ungkapan “Tuhan Yesus Kristus” nampaknya cocok sekali untuk “the Lord Jesus Christ”. Akan tetapi, penggunaan “Allah” untuk “God” dan “Tuhan” untuk “Lord” membawa kepada kejanggalan, bahkan juga kurang tepat, dalam terjemahan nas-nas tertentu. Seperti contoh berikut:9

Deuteronomy 6:14-15, You shall not go after other gods, the gods of the peoples who are all around you (for the LORD your God is a jealous God among you), lest the anger of the LORD your God be aroused against you and destroy you from the face of the earth.

2 Corinthians 4:4, …whose minds the god of this age has blinded, who do not believe, lest the light of the gospel of the glory of Christ, who is the image of God, should shine on them.

Alkitab Melayu/Indonesia menerjemahkan ayat-ayat ini sebagai berikut:

Ulangan 6:14-15, Janganlah kamu mengikuti allah lain, dari antara allah bangsa-bangsa sekelilingmu, sebab TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu di tengah-tengahmu, supaya jangan bangkit murka TUHAN, Allahmu, terhadap engkau, sehingga Ia memunahkan engkau dari muka bumi.

2 Korintus 4:4, ……yaitu orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah.

Seperti yang telah dinyatakan diatas, penggunaan “allah” (dengan huruf kecil “a”) dan “ilah” (dengan huruf kecil “i”) adalah tidak tepat dari sudut bahasa. Kata “tuhan” lebih tepat. Lagi pula, kata “allah” digunakan dalam satu ayat, sedangkan kata “ilah” digunakan dalam ayat lainnya. Kata yang manakah terjemahan “god”, atau apakah kedua terjemahan ini sama betul? Atau apakah ini pendekatan untuk ketunggalan dan kemajemukan seperti dalam bahasa Arab, yaitu “ilaah” dan “aaliha”? Sejak kapan bahasa Melayu menerima peraturan infleksi seperti ini, supaya kata “ilah” yang tunggal menjadi kata “allah” yang majemuk? Tentu dari sudut tata bahasa kurang tepat. Dalam bahasa Melayu, peraturan untuk menukar suatu kata tunggal kepada yang majemuk ialah dengan menggandakan kata tunggal itu dan menggunakan garis penghubung, contoh: “orang-orang”, “tuhan-tuhan”, dan lain-lain.

Kita sekarang dapat melihat bahwa penggunaan “Allah” dan “Tuhan” dalam Alkitab Melayu/Indonesia adalah tidak tepat dari segi bahasa, dan juga dari sudut tata bahasa. Satu hal lagi yang perlu diperhatikan, yaitu suatu unsur ketidak tepatan juga terjadi dalam hasil akhir terjemahan itu. Maka telah terjadi ketidak tepatan dari segi bahasa, tata bahasa, dan terjemahan itu juga. Bagaimana ini terjadi adalah karena dengan menggunakan “Allah” yang dalam bahasa Melayu ialah suatu kata ganti diri – bukannya suatu kata benda nama diri yang berasal dari suatu kata benda umum – kita telah secara terselubung mengganti makna nas-nas kitab suci itu di manapun kata itu ditemukan. Apabila kita menerjermah “the image of God” sebagai “gambaran Allah” dan bukan “gambaran Tuhan”, kita telah secara halus mengganti maknanya seperti halnya menerjermahkan “suara Ayah” kepada “suara Yohanes”, sungguh pun Yohanes mungkin adalah nama ayah saya. Perkataan “Ayah” (dengan huruf besar “A”) adalah suatu kata benda nama diri yang berasal dari kata benda umum “ayah” (dengan huruf kecil “a”), sementara “Yohanes” adalah kata ganti orang yang bukan berasal dari suatu kata benda umum. Begitu juga, apabila kita menerjermah “the Lord Jesus Christ” sebagai “Tuhan Yesus Kristus”, kita telah secara halus mengganti makna dari “Yesus yang menjadi Tuan” kepada “Yesus yang menjadi Sesembahan”.  Kita tahu bahwa penggunaan “Lord” mengacu kepada Yesus membawa maksud ilahi, tetapi maksud itu mesti dibedakan dari makna akar “Tuan”, atau “Kurios” dalam bahasa Yunani. Usaha penerjemahan seharusnya dipisahkan dari usaha penafsiran.

Masalah-masalah teologi

Selain masalah-masalah yang timbul dari pertimbangan bahasa, kita perlu juga mempertimbangkan masalah-masalah yang berunsur teologi. Orang-orang injili berpegang kepada prinsip “sola scriptura”, yang membawa maksud bahwa Alkitab saja yang menjadi otoritas dalam semua perkara keimanan dan keamalan. Prinsip ini membawa kepada tiga prinsip tambahan yang ada kaitan secara langsung dengan kita. Prinsip tambahan yang pertama ialah bahwa tiada penulisan selain Alkitab yang patut diterima sebagai penyataan Sesembahan. Ketiga puluh sembilan buku Perjanjian Lama dan kedua puluh tujuh buku Perjanjian Baru bersama-sama membentuk penyataan lengkap Sesembahan. Kita tidak menerima buku apapun yang lain sebagai bagian dari Kitab Suci, apa lagi Al Quran yang dicatat dan disusun setelah lebih dari lima ratus tahun buku terakhir Alkitab lengkap. Bagi orang Kristen injili, Al Quran itu bukan Kitab Suci. Mereka yang menerima Al Quran sebagai terilham, dalam erti kata sama dengan bagaimana Alkitab diilhamkan oleh Roh Sesembahan, bukanlah orang injili yang benar.

Prinsip tambahana yang kedua ialah bahwa Sesembahan yang dinyatakan oleh Alkitab sajalah Sesembahan yang benar. Bukan saja cara keselamatan dinyatakan dalam Alkitab saja (Kisah 4:12), bahkan Sesembahan yang benar dinyatakan didalamnya. Kewujudan Sesembahan yang benar, bersama dengan beberapa sifatNya, dinyatakan dalam alam dan dalam suara hati manusia sehinggalah manusia menjadi terkutuk olehNya karena menindas kebenaran (Roma 1:20-21; 2:14-15). Bagaimanapun pengetahuan yang menyelamatkan mengenai Sesembahan yang benar ternyata di dalam Alkitab saja. Orang-orang Atena mencoba menyembah Sesembahan yang benar yang tidak dikenali mereka (Kisah 17:22 db.). Paulus menyatakan sifat Sesembahan yang benar kepada mereka, dan menunjukkan bahwa Ia dapat diketahui hanya melalui pengenalan Yesus Kristus. Pengetahuan mengenai Sesembahan yang diacukan adalah berunsur objektif dan juga subjektif. Dengan kata lain, ini merangkumi bukan saja pengenalan Sesembahan melalui kepercayaan kepada Yesus Kristus, yaitu iman subjektif, bahkan juga pengetahuan tentang rupa Sesembahan yang benar, yaitu iman objektif. Orang-orang Muslim mencoba menyembah Sesembahan yang benar, sambil memanggilNya “Allah”, pada hal Dia tidak dikenali mereka secara objektif dan subjektif. Mereka tidak mempunyai pengetahuan subjektif (yang menyelamatkan) mengenai Sesembahan yang benar karena mereka tidak mengenali Anak Sesembahan. Hanya mereka yang mengenali Anak itu yang mengenali Bapa itu (Yohanes 14:7, 9). Mereka juga tidak mempunyai pengetahuan objektif mengenai Sesembahan yang benar karena Sesembahan yang benar dinyatakan secara benar hanya di dalam Alkitab. Sesembahan Alkitab adalah Sesembahan Tritunggal, bukannya sesembahan tunggal Al Quran. Lagi pula, nabi Isa Al Quran bukanlah Yesus Kristus Alkitab, Anak Sesembahan yang telah mengambil untuk DiriNya sifat manusia yang sempurna dan mati atas kayu salib dan bangkit dari antara orang-orang mati. Al Quran menyangkal bahwa nabi Isa itu Anak Sesembahan dan bahwa Dia telah mati atas salib. Isa Al Quran adalah “Yesus yang lain” daripada yang terdapat dalam Alkitab (bd. 2 Korintus 11:4), dan “Allah” Al Quran adalah sesembahan yang lain daripada yang terdapat dalam Alkitab (bd. 1 Korintus 8:5-6).

Kita membuat kesimpulan dari dua prinsip tambahan ini sebelum melanjutkan bahasan ketiga. Oleh karena kita tidak terima Al Quran sebagai terilham, dan menolak sesembahan dan nabi Isa yang diajar di dalamnya, maka kita tidak mau Sesembahan Alkitab dan Juru Selamat yang dinyatakan di dalamnya dikelirukan dengan apa yang diajar di dalam Al Quran. Sekalipun cocok untuk orang-orang Kristen Arab menggunakan “Allah” untuk mengacu kepada Sesembahan, adalah tidak begitu untuk orang-orang Kristen yang menggunakan bahasa-bahasa lain. Orang-orang Kristen Arab boleh menggunakan “Allah” untuk mengacu kepada Sesembahan bukan saja karena itu benar dari segi bahasa Arab, tetapi juga karena mereka telah mengembangkan suatu perbendaharaan kata agama yang khusus tersendiri, tanpa takut salah mengerti dengan Islam. Dalam bahasa Melayu, “Allah” adalah suatu nama pribadi sesembahan Islam. Ia bukan suatu kata benda nama diri yang berasal dari suatu kata benda umum seperti “allah” atau “ilah”, karena perkataan-perkataan seperti itu tidak  terserap dalam bahasa Melayu. Sebaliknya, kata benda umum untuk “sesembahan” dalam bahasa Melayu ialah “tuhan”. Secara umum masyarakat dunia mengaitkan “Allah” dangan Islam. Kata “Allah” itu tidak mungkin dilepaskan kaitannya dengan Al Quran karena sebagian besar orang-orang Muslim tidak setuju dengan penerjemahan buku suci mereka ke bahasa-bahasa yang lain. Orang-orang Muslim tidak menutupi bahwa mereka percaya akan pertumbuhan secara biologi. Semakin bertambah jumlah penduduk dunia secara eksponensial, “Allah” akan semakin dikaitkan dengan mereka. Penggunaan “Allah” untuk mengacu kepada Sesembahan dalam Alkitab adalah tak dapat diterima secara teologi dan tidak bijak secara aplikasi.

Prinsip tambahan yang ketiga dari “sola scriptura” ialah bahwa Alkitab adalah mencukupi untuk membimbing kita dalam penerjemahan firman Sesembahan ke bahasa-bahasa yang lain. Kitab Suci mengajar melalui perintah-perintah, aturan-aturan, prinsip-prinsip, dan contoh-contoh. Terdapat aturan dalam ilmu tafsiran bahwa contoh-contoh Yesus Kristus dan para rasul, yang dimengerti dengan benar, merupakan ajaran yang harus dilakukan. Paulus berkata dalam 1 Korintus 11:1, “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus.” Dia berkata dalam Filipi 4:9, “Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu.” John Owen berkata bahwa contoh rasuli “mempunyai kuasa ketetapan ilahi”.10 Prinsip “sola scriptura” menimbulkan “prinsip regulatif” ibadah, yang menyatakan bahwa apa-apa yang diperintahkan dalam Kitab Suci harus dibuat dalam penyembahan Sesembahan. Ia bertentangan dengan “prinsip permisif”,11 yang berpendapat bahwa apapun yang tidak dilarang oleh firman Sesembahan adalah diizinkan dalam ibadah. Kristen-kristen Reform dan kristen-kristen injili yang berpengetahuan berpegang kepada “prinsip regulatif” ibadah, sekalipun orang-orang injili lain berpegang kepada “prinsip permisif” – yang menimbulkan akibat-akibat yang menyedihkan serta menyesatkan. Sebenarnya, prinsip utama “sola scriptura” itu membawa makna firman Sesembahan seharusnya menentukan semua bidang kehidupan kita, termasuklah bagaimana kita melayani Dia, dan tidak terbatas kepada ibadah saja. Penerjemahan Kitab Suci ke bahasa-bahasa yang lain adalah suatu layanan kepada Sesembahan, karena ia membawa firman Sesembahan dekat kepada mereka yang menggunakan bahasa-bahasa itu. Pengakuan Iman 1689 mempertahankan penerjemahan Kitab Suci ke bahasa-bahasa yang lain:

“Alkitab harus diterjemahkan ke dalam semua bahasa… Dengan terjemahan itu semua manusia dapat memperoleh pengetahuan akan Sesembahan, berbakti kepada Sesembahan dengan cara yang layak dan dapat berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan mendapat penghiburan dari Alkitab.”12

Bagaimanakah Alkitab membimbing penerjemahan firman Sesembahan ke bahasa-bahasa yang lain? Ini dibuat melalui contoh yang ditunjukkan dalam penerjemahan Perjanjian Lama Ibrani ke bahasa Yunani, yang dipanggil Septuaginta. Yesus Kristus dan rasul-rasul memberi restu mereka kepada Septuaginta dengan menggunakannya dalam ajaran dan ibadah mereka. Ini adalah nyata dari banyak kutipan Septuaginta mereka yang terdapat dalam Perjanjian Baru. Yesus Kristus, rasul-rasul, dan murid-murid purba berbicara dalam bahasa Yunani dan juga bahasa Aram. Septuaginta telah beredar lebih dari dua ratus tahun sebelum kedatangan Kristus. Pentateukh dalam bahasa Yunani telah diedarkan menjelang 280 sebelum masihi, sementara kesemua buku Perjanjian Lama telah diterjemahkan menjelang 180 sebelum masihi.13 Bahasa Yunani Koine adalah lingua franca Kerajaan Roma. Apabila Perjanjian Baru, yang ditulis dalam bahasa Yunani Koine, lengkap, ia digabungkan dengan Septuaginta untuk membentuk Alkitab bahasa Yunani, dan digunakan oleh gereja purba. Bagaimana nama-nama Sesembahan diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani dalam Septuaginta, dan bagaimana rasul-rasul mengacu kepada Sesembahan dan Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru bahasa Yunani, merupakan contoh-contoh yang wajib untuk kita dalam kerja menterjemahkan Alkitab.

Bagaimanakah “Elohim” diterjemahkan ke bahasa Yunani dalam Septuaginta? “Elohim” diterjemahkan dengan kata “theos” dalam Septuaginta. Suatu contoh ialah ungkapan Ibrani “torah haElohim”, seperti yang terdapat pada Nehemiah 8:8, yang menjadi “nomos theou”. Suatu contoh lagi ialah Kejadian 1:1, “b rashith bra alaim” yang diterjemahkan sebagai “en arche epoiesen ho theos”.

Bagaimanakah “Jehovah” diterjemahkan dalam Septuaginta? Di Ulangan 6:13 kita dapati “the LORD your God” (dalam bahasa Inggris) yang diterjemahkan ke “Kurion ton Theon sou”. Di sini, “Jehovah” (atau “LORD” dalam bahasa Inggris, dengan huruf besar seluruhnya) diterjemahkan dengan “Kurios”, sementara “Elohim” (atau “God” dalam bahasa Inggris) diterjemahkan dengan “Theos”. Begitu juga, di Mazmur 7:1 & 3 kita dapati “O LORD my God” yang diterjemahkan sebagai “Kurie ho Theos mou”. Sekali lagi, “Jehovah” (atau “LORD” dalam bahasa Inggris, dengan huruf besar seluruhnya) diterjemahkan dengan “Kurios”, sementara “Elohim” (atau “God” dalam bahasa Inggris) diterjemahkan dengan “Theos”.

Bagaimanakah Sesembahan dan Yesus Kristus tertulis dalam Perjanjian Baru bahasa Yunani? Sesembahan ditulis dengan kata “Theos”, sementara Yesus Kristus dipanggil dengan sebutan “Kurios”. Contohnya, di Yohanes 20:28 kita dapati, “Ho Kurios mou kai ho Theos mou” yang sama dengan “My Lord and my God!” dalam bahasa Inggris.

Kita dapat melihat bahwa Alkitab bahasa Inggris mengikut pola yang ditentukan oleh Septuaginta di mana kata “Elohim” diterjemahkan dengan kata umum “God”, dan “Jehovah” dengan kata “LORD” (bermaksud “TUAN”). Alkitab Inggris mengikut Perjanjian Baru bahasa Yunani dengan menggunakan kata umum “God” untuk mengacu kepada Sang Pencipta, dan “Lord’ (bermaksud “Tuan”) sebagai sebutan untuk Yesus Kristus. Sungguhpun penerjemahan Jehovah, yaitu “LORD” (dalam huruf besar seluruhnya) dibedakan dari sebutan “Lord” untuk Yesus Kristus, perkataan yang sama yang bermakna “Tuan” digunakan dalam Septuaginta dan Perjanjian Baru bahasa Yunani. Maka kita melihat bahwa pola yang digunakan oleh Kitab Suci diikuti dalam Alkitab bahasa Inggris. Perkara yang sama terdapat pada Alkitab dalam bahasa-bahasa Eropa lain dan juga dalam bahasa Arab. Tidak demikian pada Alkitab Melayu/Indonesia. Bukan kata umum “Tuhan” yang digunakan untuk menterjemahkan “Elohim” dan “Theos”, tetapi suatu kata pinjaman, yaitu “Allah” yang digunakan. “Jehovah” dan “Kurios” bukan diterjemahkan dengan suatu perkataan yang bermakna “Tuan”, tetapi dengan suatu perkataan yang bermaksud “Tuhan”. Dengan cara ini, para penterjemah tidak mengikuti contoh yang diberikan dalam Kitab Suci.

Di dalam artikel tahun 2009, saya telah menyaran supaya menggunakan kata “Yamtuan” untuk “Lord” dan “Jehovah”. Perkataan “Yamtuan” adalah sama dengan “Yang Dipertuan” atau “Baginda”, yaitu “the highest Lord” atau “his Majesty” dalam bahasa Inggris. Ini suatu perkataan yang terdaftar dalam kamus standar Melayu. “Yamtuan” adalah penerjemahan yang paling sesuai untuk “Kurios” yang mengacu kepada Yesus Kristus dan Jehovah, bukan saja dari segi maknanya tetapi juga karena ini suatu perkataan yang mempunyai dua suku kata yang bunyi hujungnya sama dengan “Tuhan”, dan dengan itu memudahkan pengubahan pada himne bahasa Melayu yang ada sekarang. Penggunaan “Tuhan” untuk “God” dan “Yamtuan” untuk “Lord” dapat menyelesaikan masalah-masalah bahasa dan teologia, sementara lebih menggenapi prinsip “sola scriptura”. Dengan demikian, kita dapat meniru Alkitab bahasa Inggris untuk mengeja “YAMTUAN” (LORD), dengan huruf besar seluruhnya, sebagai terjemahan “Jehovah”, berbeda dari “Yamtuan” (Lord) untuk “Kurios”.

Kita menyimpulkan alasan menolak penggunaan “Allah” untuk mengacu kepada Sesembahan dan “Tuhan” sebagai terjemahan untuk “Jehovah” dan “Kurios”.
i. Perkataan “Allah” dalam bahasa Melayu adalah kata ganti diri yang digunakan untuk mengacu kepada sesembahan Al Quran. Ia bukannya kata benda nama diri yang berasal dari suatu kata umum, oleh karena “allah” dan “ilah” belum diadopsi ke dalam bahasa Melayu.
ii. Usaha untuk menggunakan “allah” sebagai kata majemuk “ilah” adalah tidak tepat dari segi tata bahasa karena mereka bukan kata-kata yang terdapat dalam bahasa Melayu, bahkan melanggar peraturan infleksi kemajemukan.
iii. Penggunaan “Allah” untuk “God” dan “Tuhan” untuk “Lord” membuat hasil terjemahan kurang tepat secara halus.
iv. Penggunaan “Allah” untuk “God” mau tak mau membawa kepada pengaitan yang salah Sesembahan yang benar dengan sesembahan Islam, karena “Allah” tak mungkin di pisahkan dari Al Quran dan semakin dikaitkan dengan agama itu.
v. Penggunaan “Allah” untuk “God” dan “Tuhan” untuk “Lord” adalah tidak mengikut contoh   yang ditentukan oleh Kitab Suci bagaimana kata-kata ini harus diterjemahakan, dan oleh itu melanggar prinsip “sola scriptura”.

Langkah-langkah selanjutnya

Kita telah mengemukakan argumen teologia dan bahasa menentang penggunaan “Allah” oleh orang Kristen selain orang Kristen Arab. Berbanding dengan argumen menyokong penggunaan kata itu, yang berunsur sosio-politik dan sejarah, saya mempertahankan pendirian bahwa argumen teologia dan bahasa harus dipegang orang-orang Kristen. Pokok perhatian kita adalah penerjemahan Alkitab. Unsur-unsur sosio-politik dalam masalah ini kelihatan sanggat menonjol pada waktu ini dan perlu ditangani, tetapi janganlah kita dikaburkan dari masalah pokok. Kita seharusnya bertanya persoalan-persoalan seperti: Apakah tepat para penterjemah Alkitab bahasa Melayu/Indonesia zaman dulu menerjemahkan perkataan “God” dan “Lord”?  Sekiranya pertimbangan sosio-politik sekarang diselesaikan, atau dijadikan tidak relevan, haruskah kita berterusan mengunakan “Allah” untuk “God” dan “Tuhan” untuk “Lord”? Sekiranya tidak diselesaikan, tidakkah pengembangan injil dan pertumbuhan gereja berbahasa Melayu terus terhambat? Sudah hampir 30 tahun sejak timbulnya masalah ini. Saya berani meramalkan bahwa masalah ini tidak akan hilang sekalipun terjadi perubahan pemerintahan yang menyeluruh di Malaysia.

Saya juga menyarankan supaya orang-orang Kristen meneruskan perjuangan dipengadilan supaya hak menggunakan “Allah” dipertahankan, tetapi dalam masa yang sama menyatakan niat kita untuk berhenti menggunakan kata itu, dan sebaliknya menggunakan kata “Tuhan” untuk “God” dan “Yamtuan” untuk “Lord”. Dengan cara ini, kita dapat mencapai beberapa perkara:

i. Kita menunjukkan bahwa orang non Muslim di Malaysia mempunyai hak tetap untuk menggunakan “Allah”;
ii. Kita mengaku bahwa penerjemahan Alkitab dalam bahasa Melayu/Indonesia selama ini mungkin tidak begitu tepat, dan kita ingin memperbaikinya sekarang;
iii. Kita menunjukkan keinginan menuruti ajaran alkitabiah untuk mengesampingkan hak-hak kita demi suara hati orang lain yang lebih lemah (Roma 14:1; 1 Korintus 9:19, 22; 10:31-32).

Izinkan saya menerangkan lagi perkara terakhir itu; yakni keinginan kita untuk mengesampingkan hak kita demi kebaikan orang lain. Kita perlu menerima hakikat bahwa umat Muslim di seluruh dunia bukannya satu dalam kepercayaan dan amalan, sungguhpun mereka ingin memberikan gambaran kesatuan ummah (persaudaraan) mereka di kala yang lebih baik. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam tahun-tahun belakangan ini telah membuktikan sikap palsu mereka mengenai kesatuan dan kesepakatan kepercayaan mereka. Sungguhpun kita sanggat terkejut dengan perbuatan tidak masuk akal ekstremis-ekstremis Muslim, apakah kita tidak berupaya untuk percaya bahwa mayoritas besar pengikut Islam sebenarnya menentang kekerasan? Apakah kita tidak dapat melihat bahwa orang-orang Muslim sederhana sedang merasa geram karena kehancuran harga diri dan kewibawaan mereka yang disebabkan perbuatan sekelompok kecil orang dari pihak mereka? Kita harus tahu bahwa mereka adalah kelompok masyarakat yang telah lama tertinggal dalam pendidikan, teknologi, dan kesehatan, sekalipun beberapa negara Muslim mempunyai sumber daya alam yang kaya. Mari kita mengerti betapa besar kekecewaan pemimpin-pemimpin yang gagal dalam usaha meningkatkan kesejahteraan kehidupan dan pola pikir masyarakat mereka dengan berasaskan ajaran dan prinsip Islam. Mari kita berempati dengan mereka yang berulang kali berbicara mengenai zaman kegemilangan tamadun Islam di bawah kalifa-kalifa, padahal mereka tidak mengerti bahwa bukannya Islam sendiri yang menyebabkan kemajuan pada masa lampau, tetapi pemindahan ilmu dari tamadun Roma-Yunani sebelumnya.

Menurut kaum injili masalah pokok yang dihadapi orang-orang Muslim, seperti juga keturunan Adam yang lain, adalah dosa. Kaum injili menawarkan jalan keluar yang terdapat pada kelahiran kembali yang dikerjakan oleh Roh Kudus. Hanya kelahiran baru dapat memuliakan roh manusia, bukannya pendidikan atau agama. Roh Kudus bekerja melalui firman Sesembahan. “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus” (Roma 10:17). Jika Alkitab bahasa Melayu/Indonesia itu dilarang, kita tidak mempunyai kebebasan untuk memberitakan firman Sesembahan dalam bahasa Melayu. Jika orang-orang Muslim dilarang mendengar firman Sesembahan, sarana Roh Kudus untuk memberikan kelahiran baru ditiada lagi. Itulah sebabnya, selain menakutkan orang-orang Muslim dengan kemungkinan pindah agama, kita sepatutnya berjuang untuk “kebebasan suara hati” lebih leluasa. Tidak seorang pun dapat dipaksa menerima kepercayaan apapun dengan kekerasan, ancaman, atau hukum. Kebebasan bersuara dan bersekutu sebenarnya merangkumi kebebasan untuk mengajar dan menyebarkan apa yang dipercayai seseorang, tanpa mengganggu hak-hak orang lain. Orang-orang Muslim bebas menyebarkan kepercayaan mereka, dan mereka harus membiarkan orang lain bebas menyebarkan kepercayaan mereka. Orang lain adalah bebas untuk mendengar ajaran orang Muslim, dan orang Muslim harus diberi kebebasan yang benar untuk mendengar ajaran orang lain. Setiap pribadi tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan kelahirannya, tetapi ia mempunyai kebebasan untuk memilih kepercayaannya. Kelahiran seseorang itu tidak boleh diikat bersama kepercayaannya. Sesembahanlah yang menentukan kelahiran kita, dan Sesembahanlah yang menuntut supaya kita bertanggungjawab atas kepercayaan kita sendiri. Kepercayaan bahwa keagamaan adalah hal sensitif yang membawa kepada kekerasan adalah suatu dongeng yang perlu dihancurkan. Emosi yang kurang matang, penuh dengan keangkuhan diri, dan tidak masuk akal, beritikad jahat terhadap orang lain, itulah yang menyebabkan kekerasan. Itulah yang merupakan kekerasan.

Pada masa kini, apa yang dipanggil kebebasan beragama di Malaysia sebenarnya adalah toleransi yang tidak ikhlas terhadap agama-agama bukan-Muslim. Saya mempunyai impian suatu Malaysia di mana kebebasan suara hati benar-benar diakui dan ditegakkan, di mana diskriminasi warna kulit, kelas dan kepercayaan yang dilegalkan dihapuskan, dan di mana keadilan, belaskasihan dan kejujuran menjadi nilai-nilai universal yang dihargai. Awal mulanya adalah supaya terdapat kebebasan suara hati – sesuatu yang tidak diketahui atau didengari dalam sebuah negara yang didirikan atas prinsip-prinsip yang kurang sempurna. Kita harus menerima kemungkinan terjadi hal-hal tidak terduga bila benar-benar ada kebebasan suara hati. Mungkin, akan lebih banyak lagi individu yang dimenangkan agama Islam dibandingkan dengan kondisi sekarang, bersama dengan kesudahan yang lebih menggembirakan, sungguhpun orang-orang Muslim harus menerima kemungkinan bahwa sebahagian dari kalangan mereka akan berubah menjadi pengikut Kristus.

Langkah-langkah praktis apa yang harus diambil, sambil menunggu keputusan perkara ini di pengadilan mengenai penggunaan “Allah”?
i. Kita akan meyakinkan sebanyak mungkin orang-orang Kristen di negara ini mengenai kecocokan – malahan keharusan – melepaskan penggunaan “Allah” dan mengadopsi “Tuhan” untuk “God” dan “Yamtuan” untuk “Lord”.
ii. Kita akan menerbitkan, katakanlah, seribu naskah Alkitab yang menggunakan “Tuhan” dan “Yamtuan” sebagai kata ganti. Supaya dapat melaksanakan ini, kita perlu mencari dana yang cukup, sambil menanti pesanan pra-terbitan untuk mengatur distribusi dan penggunaan secara cepat Alkitab versi baru itu. Kita akan memerlukan pertolongan Lembaga Alkitab Indonesia untuk membuat perubahan pada kata-kata ini, termasuk kata-kata yang lain, sesuai dengan situasi di Malaysia. Contohnya, kita akan mengeja “kerana” dan bukan “karena”, “perigi” dan bukan “sumur”, dan juga “Kristian” dan bukan “Kristen”.
iii. Kita akan meyakinkan gereja-gereja di Indonesia tentang kecocokan dan kebaikan menggunakan ungkapan “Tuhan” dan “Yamtuan”, sambil memelihara pengejaan Indonesia dan kata-kata yang lebih disukai di sana seperti “karena”, “sumur” dan “Kristen”. Penukaran ajaran dan terbitan di antara negara lebih mudah bila adanya perbendaharaan kata teologi yang sama, hal itu membawa pembangunan bersama gereja-gereja di Malaysia dan Indonesia.

Kesimpulan

Penggunaan kata “Allah” sebagai terjemahan untuk “God” dan “Tuhan” untuk “Lord” adalah tidak tepat dari segi bahasa dan teologi. Sebaliknya, kata “Tuhan” dan “Yamtuan” masing-masing di sarankan sebagai pengganti yang tepat untuk “God” dan “Lord”.

Tugas mempromosi penggunaan kata ganti ini dalam suatu Alkitab terjemahan baru di kalangan orang-orang Kristen tidak akan lancar dan mudah. Kita mungkin menghadapi tantangan dari pelbagai pihak karena ada kekuatiran terhadap perubahan, desakan hak legal untuk terus menggunakan “Allah”, dan pertimbangan pribadi yang kurang mulia di kalangan pemimpin-pemimpin gereja. Sambil saya menyebarkan artikel ini, saya mengharapkan dukungan doa rekan-rekan dan hamba-hamba Tuhan yang mengerti kebutuhan mendesak suatu terjemahan Alkitab yang boleh digunakan.

Rujukan

1. B. S. Poh, 2009. Haruskah Orang Kristen Menggunakan Kata “Allah”? Good News Enterprise. 30 h. Versi Inggris dan Melayu diterbitkan pada waktu yang sama.
2. The Star, January 1, 2010. High Court Grants Catholic Publication Herald The Right To Use ‘Allah’ Word Again.
3. The Star, 6 January 2010. Stay Granted On ‘Allah’ Ruling.
4. The Star, March 6, 2010. SIB Keen To Resolve ‘Allah’ Issue With Home Ministry.
5. The Star, 6 January 2010. ‘Allah’ Controversy Cannot Be Resolved Through Law, Says Dr M.
6. The Star, 2 January 2010. Use of ‘Allah’ Forbidden By 1988 Enactment.
7. Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat tentang pengetahuan.
8. Ini terlihat pada situs-situs web dan blog-blog organisasi Kristen dan individu di Malaysia.
9. Kutipan Alkitab adalah dari versi New King James, terbitan Thomas Nelson, Inc., di mana kata-kata tambahan dalam proses penerjemahan dicetakkan dalam huruf-huruf miring, dan dari Alkitab yang di terbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia.
10. The Works of John Owen, Vol. 16. h. 197. The Banner of Truth Trust.
11. Prinsip permisif biasanya dipanggil “prinsip normatif” dalam kesusastraan, sesuatu yang sayang, karena Kitab Suci menentukan apa yang norma, atau kelakuan yang standar, untuk gereja dan orang yang percaya dan oleh itu “normatif”. Oleh karena itu, “prinsip normatif” sepatutnya  dianggap nama yang lain untuk “prinsip regulatif”. Mengenai prinsip ini, lihat Ernest C. Reisinger & D. Matthew Allen, Worship: The Regulative Principle and the Biblical Principle of Accommodation. Founders Press.
12. The Second London Baptist Confession of Faith of 1689, Fasal 1, Artikel 8. Ini diajar juga dalam Westminster Confession of Faith of 1647, Fasal 1, Artikel 8.
13. Irving L. Jensen, 1978. Jensen’s Survey of the New Testament. Moody Press. h. 50-51.

 

~ ~ ~ ~
Ke Atas